Di negeri yang konon menjunjung supremasi hukum, kekerasan terhadap pegiat masyarakat sipil semestinya jadi lampu merah paling terang. Namun di Gorontalo, sebuah peringatan justru dibalas dengan pentungan. Amin Suleman, Ketua Umum LSM Gerakan Aktivis Milenial Provinsi Gorontalo, dikeroyok di jalan umum oleh empat pria, hanya karena suara lantangnya membongkar skema gelap pertambangan ilegal batu hitam. Ironisnya, alih-alih ditangani serius, kasus ini menyeret babak yang lebih kelam: keterlibatan oknum aparat militer.
Amin bukan nama besar. Tapi suaranya melintasi sunyi birokrasi yang lebih memilih diam. Ia mengabarkan kejanggalan dalam rantai distribusi tambang batu hitam, komoditas yang belakangan menjadi semacam “emas hitam” di tanah Gorontalo.
Di balik tambang ilegal itu, ada pelayaran misterius, mobil pengangkut, dan pelabuhan-pelabuhan bayangan yang dilintasi dengan pengawalan.
Yang lebih mencengangkan, dalam pengakuan Amin, ia dihadang dan dilarang mengganggu aktivitas tambang oleh seseorang yang disebut-sebut oknum anggota Brigif.
“Teman saya yang kawal batu hitam itu,” katanya menirukan si oknum, melansir dari video wawancara tribun gorontalo.
Kalimat tersebut bukan sekadar percakapan jalanan. Itu pengakuan tentang penetrasi jaringan tambang ilegal ke dalam tubuh institusi yang seharusnya steril dari urusan rente.
Ini bukan sekadar soal batu hitam. Ini tentang bagaimana aparat bersenjata, yang digaji dari uang rakyat, justru menjadi penjaga aktivitas haram yang merampok kekayaan negara.
Kekerasan terhadap Amin bukan kejadian tunggal. Ia pernah dihadang oleh tiga pria bermotor. Ia diancam: “Jangan sampai kayak Lutfi yang dianiaya.”
Dan kini, setelah penganiayaan yang videonya menyebar di media sosial, publik tahu bahwa intimidasi itu bukan gertakan. Itu rencana.
Yang makin menyesakkan dada, negara seolah hadir hanya untuk membenarkan segala bentuk pembungkaman.
Dan diamnya negara adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.
Pertanyaannya kini bukan lagi “siapa yang melakukan,” tetapi “mengapa bisa dilakukan dengan terang-terangan?” Dalam negara hukum, seharusnya tak ada celah bagi tambang ilegal untuk bergerak. Tapi ketika jaringan distribusi bisa lolos sampai ke pelabuhan resmi seperti Anggrek, saat pengawalan tambang ilegal justru di duga dijaga oknum militer, kita patut bertanya: siapa yang bermain di belakang layar?
Pemerintah daerah pun tak bisa terus bersembunyi di balik dalih “tidak tahu.” Aktivitas tambang ilegal yang sebesar itu mustahil tak terendus jika sistem pengawasan bekerja. Mustahil pula jika aparat penegak hukum benar-benar netral.
Amin tahu dari mana batu itu datang, menggunakan mobil apa, dan dikirim ke mana. Kenapa polisi tidak tahu? Atau lebih tepatnya: pura-pura tidak tahu?
Ada yang retak dalam sendi-sendi negara ketika suara kritik dibungkam dengan bogem. Ketika peran LSM tak lagi dianggap sebagai mitra pengawasan, melainkan ancaman. Dan ketika seorang warga negara harus mengatakan, “Saya kenal kamu,” kepada pria yang menghadangnya di jalan, kita sedang menyaksikan wajah kelam negara yang tak lagi melindungi rakyatnya.
Apalagi jika pria yang dikenali itu adalah bagian dari institusi bersenjata. Maka, lengkaplah potret kekuasaan yang disandera.
Kekerasan terhadap Amin adalah cermin. Cermin bahwa negara gagal membedakan mana yang perlu dikawal dan mana yang harus dibongkar. Jika oknum Brigif benar terlibat, ini bukan soal kedisiplinan individu semata. Ini soal sistem yang keropos. Tentang budaya impunitas yang memungkinkan aparat bersenjata menjadi penjaga rente tambang.
Presiden, Panglima TNI, Kapolri, Menteri Pertahanan, dan Gubernur Gorontalo tak boleh pura-pura buta. Mereka harus bertindak cepat, bukan hanya untuk Amin, tapi untuk martabat negara. Jangan biarkan negara ini jadi republik batu hitam, tempat hukum dikalahkan uang, dan keberanian dibungkam kekerasan.
Penyelidikan harus menyentuh sampai ke akar. Siapa pemilik batu hitam? Siapa jaringannya? Siapa yang mengatur pengawalan bersenjata? Siapa yang memberi izin tak tertulis agar semua ini berjalan mulus?
Amin sudah bersuara, dengan risiko nyawa. Giliran negara membuktikan: masih adakah keadilan, ataukah semua sudah dibungkam bersama debu batu hitam?
Inilah saatnya publik bersuara. Sebab jika satu Amin dibungkam hari ini, besok akan ada Amin-Amin lain yang tak lagi bisa bicara. Sebab jika aparat bersenjata mulai jadi pengawal tambang ilegal, maka perbatasan antara negara dan mafia sudah benar-benar lenyap.