banner Kulbar
BeritaBerita Daerah

Pameran Budaya HUT Butur Disiapkan, TACB Ingatkan Akurasi Sejarah

×

Pameran Budaya HUT Butur Disiapkan, TACB Ingatkan Akurasi Sejarah

Share this article
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Buton Utara, Nurlin
Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Buton Utara, Nurlin

Barisan.id, Butur – Menjelang Hari Ulang Tahun ke-18 Kabupaten Buton Utara yang akan diperingati pada 2 Juli 2025, sejumlah kegiatan mulai disiapkan oleh berbagai elemen masyarakat. Salah satunya adalah rencana penyelenggaraan pameran budaya oleh organisasi masyarakat yang menamakan diri Pusat Studi Pelestarian Budaya (PSPB) Buton Utara.

Sebagaimana dilaporkan oleh edisiindonesia.id (11/6/2025), pameran tersebut direncanakan menampilkan sejumlah benda bernilai sejarah, antara lain dokumen-dokumen kuno, peta-peta lama, serta sejumlah artefak lainnya yang telah dikumpulkan sebelumnya.

Rencana itu mendapat tanggapan dari Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Buton Utara, Nurlin. Ia menyambut baik inisiatif tersebut dan menilai hal itu mencerminkan partisipasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan.

“Hal ini sesuai dengan visi Pemajuan Kebudayaan yang termuat dalam Perpres No. 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan, yaitu Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan,” ujar Nurlin, Rabu (11/6/2025).

Meski demikian, Nurlin yang merupakan alumni Pascasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin, menilai bahwa rencana pameran tersebut perlu disertai dengan kehati-hatian, terutama dalam hal pelabelan benda-benda yang dipamerkan. Menurutnya, tidak semua benda dari masa lalu dapat serta-merta dikategorikan sebagai benda bersejarah.

“Ambil contoh benda sederhana, pulpen. Pulpen yang digunakan Soekarno untuk menandatangani naskah proklamasi memiliki nilai sejarah penting dibandingkan dengan pulpen yang sama tapi digunakan untuk menulis nota belanja rumah tangga sehari-hari. Demikian juga dengan biola yang digunakan oleh W.R Soepratman untuk menggubah lagu Indonesia Raya memiliki nilai sejarah penting daripada biola-biola lain yang digunakan sehari-hari. Jadi sekali lagi, usia suatu benda bukan kriteria yang menentukan apakah benda itu bernilai sejarah,” jelasnya.

Nurlin menegaskan bahwa klaim terhadap nilai sejarah suatu benda sebaiknya tidak dilakukan sepihak tanpa kajian ilmiah yang memadai. Kajian tersebut, menurut dia, penting untuk menjaga akurasi informasi sejarah yang disampaikan kepada publik.

Ia juga menyinggung soal validitas klaim usia benda-benda tersebut. Menurutnya, penentuan usia sebuah benda, apalagi yang berkaitan dengan klaim historis, bukanlah proses yang sederhana.

“Menurut keterangan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya saat melakukan survei penyelamatan tinggalan budaya 2022, untuk menentukan usia suatu benda butuh waktu lama, sampelnya harus dikirim ke luar negeri untuk diuji karbon baru bisa ditentukan penanggalannya,” ujarnya, seraya menyebutkan bahwa uji karbon merupakan teknologi yang tidak mudah diakses secara umum.

Selain itu, Nurlin juga memberikan catatan kritis terhadap penggunaan istilah seperti “dokumen sejarah” atau “peta kuno”. Kata Nurlin, istilah tersebut sebaiknya digunakan dengan lebih tepat, sesuai konteks dan sumber dokumen.

“Jika hanya sekadar buku dari era kolonial yang diperoleh lewat Google, sebaiknya disebut saja sebagai koleksi salinan buku dari era kolonial. Atau jika itu sebuah naskah, sebut saja salinan naskah dari era kolonial. Karena jika menggunakan istilah ‘dokumen sejarah’ itu mengindikasikan bahwa kita adalah kolektor langsung dokumen asli yang berasal dari ratusan tahun yang lalu,” katanya.

Nurlin juga mengingatkan bahwa istilah “peta kuno” dalam ilmu sejarah merujuk pada periode prasejarah, sehingga penggunaan istilah itu harus selektif.

“Jika itu hanya peta-peta yang dibuat dari era kolonial, sebaiknya disebut saja sebagai peta era kolonial, supaya lebih jelas dan tidak overstatement,” pungkas Nurlin, yang juga alumni Sejarah Universitas Negeri Gorontalo.

Menutup keterangannya, Nurlin mengusulkan agar penyelenggara memastikan terlebih dahulu klasifikasi benda-benda yang akan ditampilkan.

“Kalau ada benda-benda yang misalnya belum bisa ditentukan memiliki nilai sejarah atau tidak, bisa disebut dengan istilah yang lebih netral, ‘benda-benda kebudayaan’ koleksi pribadi atau lembaga. Sebutan itu sama sekali tidak mengurangi nilai pameran. Sebaliknya, sebutan seperti itu justru lebih sesuai dengan tema Pameran Budaya yang ingin digelar di HUT Butur,” tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *