banner Kulbar
BeritaOpini

Quo Vadis Kabupaten Buton Utara?

×

Quo Vadis Kabupaten Buton Utara?

Share this article
Nurlin
Nurlin

Sebuah Kado Ulang Tahun ke-18 

Barisan.id, Butur – Perayaan ulang tahun selalu identik dengan kebahagiaan dan keriuhan. Apalagi perayaan ulang tahun Buton Utara kali begitu spesial bagi teman-teman PPPK yang lulus tahun 2024. Surat Keputusan yang selama ini ditunggu-tunggu akan diserahkan yang menandai awal masa pengabdian mereka sebagai ASN. Selamat. Semoga memberikan sumbangsih berharga bagi kemajuan Buton Utara.

Tapi di balik keriuhan dan kebahagiaan itu, ada ruang untuk merenung dan membuka kembali jendela waktu yang lampau. Delapan belas tahun kabupaten ini berdiri, ia seperti remaja yang Tengah belajar mengenali dirinya sendiri, masih sering ragu, kadang marah, dan sesekali bermimpi terlalu tinggi. Tapi bukankah memang begitu hidup sebuah kabupaten muda? Ia tumbuh dalam harapan, tapi juga seringkali dipukul oleh realitas yang bergerak lamban.

Apakah Kabupaten Buton Utara mengalami kemajuan yang signifikan?

Jawabannya bisa “ya” bisa pula “tidak”. Bergantung pada siapa yang menjawab dan dari sudut pandang mana kemajuan itu dilihat. Jika pandangan diarahkan pada sederet masalah: jalanan rusak, bencana banjir, jaringan yang tidak stabil, dan lampu yang sering padam, kita akan menjawabnya “tidak”. Di sini ada pesimisme yang sulit dipendam.

Tapi, jika padangan diarahkan lebih jauh ke belakang sejak daerah ini dimekarkan tahun 2007 hingga sekarang, kita bisa melihat deretan fakta yang boleh disebut sebagai “kemajuan”. Jawabannya “Ya” Buton Utara telah mengalami kemajuan yang signifikan.

Ini masalah utama dalam memahami kemajuan, ia bergerak pelan, bukan ledakan seketika yang menyita perhatian. Karena itu, butuh memahami deretan fakta pada periode waktu yang panjang agar bisa terlihat. Para ahli menyatakan setidaknya butuh melihat periode waktu 50 tahun ke belakang untuk bisa melihat adanya kemajuan.

Berbeda dengan masalah, ia mudah terlihat dan mudah dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi saat musim timur, curah hujan yang tinggi menyebabkan daerah ini mengalami masalah klasik: banjir, jaringan, dan jalanan rusak yang langsung kita rasakan. Hal ini memberi kita dasar untuk mengatakan, “majumo hako”.

Karena alasan itu, masalah selalu lebih mudah terlihat daripada kemajuan.

Saya masih ingat 19 tahun lalu, saat kuliah di Gorontalo, untuk berkomunikasi, orang tua saya harus naik motor ke wartel (warung telepon) sekitar dua puluh kilometer jauhnya. Karena ongkos yang mahal, komunikasi hanya berlangsung beberapa menit saja. Hari ini, generasi yang lahir 2007 ke atas, bahkan tidak tahu lagi apa itu wartel. Meskipun belum merata dan sering putus, saat ini kita sudah bisa menonton video daring, melakukan video call dengan keluarga yang jauh.

Contoh lainnya, jalan raya dan listrik. Dulu jalanan beraspal sangat terbatas, sedangkan hari ini sudah cukup banyak ruas jalan yang diaspal. Layanan listrik dulu hanya terbatas di pusat kecamatan Kulisusu. Meskipun masih sering mengalami pemadaman, sebagian besar wilayah Buton Utara saat ini sudah menikmati layanan listrik 24 jam. Masih banyak lagi deretan fakta jika kita mau melihat perbandingan dalam periode waktu yang lama. Kesimpulannya, Buton Utara berubah meski perlahan, belum merata, tapi tetap ada kemajuan.

Kini pertanyaanya bukan lagi “apakah Buton Utara mengalami kemajuan atau tidak, tapi quo vadis (hendak kemana) kita bawa Kabupaten Buton Utara ini?

Dari Persatuan ke Polarisasi Internal

Delapan belas tahun lalu seluruh elemen masyarakat diikat oleh satu identitas tunggal, Buton Utara. Kita semua bergandengan tangan (ada juga segelintir orang yang menolak) melawan rintangan eksternal yang menghalangi pemekaran Buton Utara. Hasilnya kita menang. Tahun 2007 daerah ini berhasil dimekarkan dari kabupaten Muna.

Tapi, setelah semua rintangan eksternal itu dikalahkan, kita memasuki faseh polarisasi internal. Seperti Athena dan Sparta di masa lampau, ketika Yunani diserang musuh dari luar, keduanya bersatu untuk melawan. Tapi setelah musuh bersama dikalahkan, mereka kembali bermusuhan.

Saat Buton Utara mekar, musuh bersama hilang, kita mulai membentuk kelompok-kelompok terpisah. Puncaknya pada momen politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kita terbelah dalam kelompok pendukung kandidat berbeda. Sebenarnya ini hal normal dalam demokrasi. Tapi sayangnya, polarisasi itu mengakar jauh melampaui rasio dan menjelma jadi kebencian yang terselubung.

Imbasnya pasca Pilkada, mereka yang menang berhasrat untuk mendominasi distribusi sumber daya daerah, sedangkan yang bersebrangan sebisa mungkin dicegah agar tak mendapat remah-remahnya. Di lingkungan birokrasi, polarisasi dukungan politik ini menentukan promosi jabatan. Tidak ada pertimbangan meritokrasi (promosi dan penempatan pegawai berdasarkan prestasi dan kompetensi), semuanya murni politis. Kelompok pemenang mendapatkan promosi dan yang kalah dinon-job atau dipindahkan.

Pola seperti ini sudah terbangun sejak Pilkada pertama. Hasilnya adalah kebencian dan dendam politik yang tidak berkesudahan. Seperti lingkaran setan, ketika kelompok yang pernah kalah mendapat kesempatan menang Pilkada, mereka balas melakukan hal yang sama pada pihak yang kalah. Begitu seterusnya, balas-membalas sudah dianggap hal yang normal dalam politik.

Membangun Institusi Politik Ekstraktif

Daron Acemoglu dan Richard A. Robinson, dalam buku Why Nation Fail? (Mengapa Negara Gagal), melihat karakter politik yang cenderung mengutamakan kelompok sendiri dan mengeliminasi kelompok lain sebagai salah satu ciri institus politik ekstraktif. Karakter institusi politik ini berlawanan dengan institusi politik ekslusif, yang memberi peluang sama pada semua pihak.

Dalam institusi politik ekstraktif, muncul kecenderungan mempertahankan dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pelaksanaan pemerintahan. Garis demarkasi yang tegas dibangun antara “kita” dan “mereka” demi menjaga kemurnian kelompok. Seolah ada peringatan tertulis di sana, “jangan ganggu, ini wilayah kami”.

Situasi seperti ini memperkuat eksklusivitas kekuasaan, mempersempit ruang partisipasi, dan memperparah ketimpangan politik. Inovasi juga ikut terhambat karena ide hanya berputar pada kelompok yang sama. Sementara ide-ide segar yang datang dari luar kelompok dianggap sebagai ancaman bagi kredibilitas kelompok sendiri.

Karena alasan itu, Acemoglu dan Robhinson dengan tegas menyatakan, karakter institusi politik ekstraktif adalah biang kegagalan suatu negara. Demikian juga di daerah, jika dikelola dengan karakter ekstraktif, ia akan jatuh ke lembah kegagalan. Sayangnya, dalam perjalanannya selama delapan belas tahun ini, kabupaten Buton Utara cenderung membangun institusi politik ekstraktif.

Menata Arah Politik Inklusif

Mengubah karakter politik ekstraktif menjadi inklusif bukanlah pekerjaan gampang. Itu menuntut perubahan struktur, budaya politik, dan pola distribusi kekuasaan. Apalagi di tengah masyarakat yang sekadar menjadi populasi dan pendukung, sulit rasanya memimpikan lahirnya inklusifitas politik.

Untuk mendorong perubahan, masyarakat harus menjelma menjadi entitas politis yang kritis dan partisipatif. Masyarakat perlu memahami hak-haknya dan berani menginterupsi penguasa yang menyeleweng. Dengan cara itu, masyarakat tidak lagi sekadar populasi yang dibutuhkan suaranya hanya saat momen pemilihan. Masyatakat menjadi subjek yang sadar dan terlibat aktif secara politik.

Tentu saja tidak mudah mencapai kondisi ini, tapi harapan harus tetap tumbuh subur. Karena jika Buton Utara hendak melangkah ke kemajuan yang bermakna, satu-satunya cara adalah membangun budaya politik yang inklusif.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *