Barisan.id – Sejarah perpolitikan Buton Utara telah mencatat bahwa rata-rata Bupati terpilih daerah ini hanya memimpin Butur satu periode. Walau Ridwan Zakaria sempat memenangkan pertarungan Pilbup selama dua kali, namun kekuasaannya tetap terjeda oleh Abu Hasan selama satu periode.
Salah satu penyebabnya adalah tagline ‘perubahan’ yang selalu gagal direalisasikan.
Di setiap momen kampanye di Buton Utara, kata perubahan menjadi kalimat yang laris manis di gaungkan. Padahal, perubahan adalah kata yang mudah di ucapkan tapi sangat sulit dilaksanakan. Tercatat masyarakat Buton Utara beberapa kali di “Prank” dengan teriakan perubahan ini. Mulai dari kisah anak miskin yang katanya melawan rezim, sampai kisah panggil pulang Bapak pembangunan.
Gerakan ini telah menghabiskan banyak energi dan emosi masyarakat. Gara-gara tagline ini, banyak konflik yang tercipta di tengah masyarakat. Sayangnya, hura-hura ini pada akhirnya hanya menjadi huru-hara.
Selain itu, ada beberapa kesalahan yang selalu dilakukan berulang-ulang oleh pemimpin-pemimpin Buton Utara sebelumnya sehingga mereka hanya bisa memimpin satu periode.
Kesalahan pertama, di Buton Utara, tidak ada tempat untuk generasi muda.
Mereka hanya di jadikan bemper ketika momen politik tiba. Generasi tua dan kalangan pejabat terlalu mengkerdilkan keberadaan anak muda. Kemurnian gerakannya selalu di curigai semata-mata hanya untuk mendapatkan jatah kekuasaan. Karena terus menerus dituduh dengan berbagai stigma negatif, akhirnya sebagian memilih jalan buntu dengan menjadi pasukan nasi bungkus dan broker proyek. Sebagian lagi pasrah merantau ke Morowali, ada juga yang memilih menjadi pegawai Magang.
Padahal di Buton Utara, berderet ratusan organisasi dan komunitas produktif anak muda yang membutuhkan uluran tangan dan perhatian serius pemerintah. Ada komunitas Pecinta Pantai Membuku yang berhasil mengubah pantai eksotis itu menjadi sangat menawan, tapi mereka di paksa mundur pelan-pelan oleh keadaan. Ada komunitas konten kreator, komunitas pedagang online, komunitas MUA Butur, komunitas pecinta alam, komunitas perantau Morowali, komunitas penyanyi elektron, komunitas pemandu wisata dan komunitas-komunitas lain yang selama ini terseok-seok berdiri sendiri tanpa pendampingan.
Belum lagi organisasi pemuda di tiap Kecamatan dan Kelurahan. Jika mereka digabungkan, tercatat puluhan ribu generasi muda Buton Utara tidak punya ruang mengekspresikan diri. Ironisnya, anggaran tiap Dinas banyak yang terbuang hanya untuk acara-acara seremonial. Satu Dinas bertanggung jawab atas minimal satu Organisasi/Komunitas, bukankah itu masih sangat masuk akal?
Bukankah mereka yang memasangkan kalian baliho, membangun posko dan membantu mencarikan suara?
Patutkan mereka untuk dihargai secara layak dan proporsional. Mereka harus mendapat penghargaan atas setiap perjuangannya.
Lima tahun ke depan…
Yang tersisa dari pemilih Buton Utara adalah mayoritas dari kalangan anak muda.
Lima tahun ke depan…
Secara kuantitatif dan kualitatif mereka akan menjadi lokomotif dan martir dalam perubahan sejarah.
Lima tahun ke depan…
Jika mereka tidak dirangkul, maka mereka pasti melawan dan bersuara nyaring atas ketertindasan berekspresi.
Berikan mereka ruang, maka mereka akan membantumu meluruskan jalannya sejarah.
Kesalahan kedua yang menurut saya selalu berulang adalah karakter Ibu Bupati yang malas membuat terobosan.
Sebagai pendamping orang nomor satu di Buton Utara, peran seorang Ibu Bupati sangat krusial. Ia berperan atas banyak amanah. Sebagai Bunda PAUD misalnya, sangat mengecewakan ketika saya mengetahui di Butur belum ada Taman Lalu Lintas dan belum ada Museum Budaya untuk memperkenalkan budaya sejak dini.
Sebagai ketua PKK, Ibu Bupati harusnya menyadari bahwa organisasi ini berawal dari keprihatinan Isriati Moenad untuk membantu suaminya sebagai Gubernur Jawa Tengah kala itu untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun seiring berjalannya waktu, organisasi ini justru menjadi arena adu gengsi dengan berbagai lomba yang sama sekali tidak berdampak positif ke masyarakat. Bolak balik fashion show ke Jakarta dan berlomba ikut perjalanan dinas ke berbagai kota yang membuat pusing para kepala Dinas karena harus menutupi bengkaknya anggaran. Bukankah semua kegiatan ini hasilnya hanya dinikmati segelintir orang?
Padahal kalau diteliti secara seksama, di PKK ada Pokja 1 yang fokus ke pengamalan pancasila. Harusnya pokja ini bisa membantu menguatkan mental positif para wanita di Buton Utara untuk hidup lebih berguna, menjauhi perselingkuhan, menjauhi ghibah, melawan pelecehan seksual dengan memperbanyak dzikir dan tabligh akbar serta menghadirkan praktisi dan para ahli.
Tolak ukur perubahan sebuah daerah itu ada tiga, yaitu perubahan manusianya, perubahan sistemnya, dan perubahan hukumnya. Percuma bolak-balik Jakarta-Bali untuk Studi Banding jika mental manusianya tidak diubah terlebih dahulu.
Di PKK, ada banyak program murah tapi berefek langsung kepada masyarakat. Seperti pendampingan cara tanam hidroponik, daur ulang pakaian bekas, memfasilitasi UMKM, pendampingan makanan tambahan posyandu, sosialisasi cegah stunting, menghidupkan ruang terbuka hijau dan lain-lain.
PKK bukan tempat untuk membalas jasa, tapi tempat untuk mengabdikan diri.
Pemimpin Buton Utara saat ini sedang menghadapi gelombang masyarakat yang tengah menghadapi krisis kepercayaan kepada pemimpinnya. Mereka lelah di jadikan bahan dagangan setiap kali pilkada datang. Ditambah lagi, mereka melek politik dan pintar bermedia sosial, sehingga dengan mudah mencari perbandingan di daerah lain.
Lalu bagaimana dengan nasib kepemimpinan Afiruddin-Rahman?
Bagi saya, jika Buton-Utara bisa berubah…
Harusnya, waktunya adalah sekarang, ditangan Afiruddin-Rahman.
Serius !!!
Kita masih ingat dengan jelas betapa susahnya mereka meraih kemenangan ini. Saya bahkan menduga, sampai saat ini Afiruddin-Rahman masih setengah bermimpi bahwa mereka adalah pemenang konstalasi Pilkada kemarin.
Atas terpilihnya Afiruddin-Rahman, pendukung mereka saat ini sedang dalam posisi memiliki stamina yang kuat, semangat dan energi yang meletup-letup menunggu momen di lantik untuk mempersembahkan karya terbaiknya untuk daerah tercinta Buton Utara.
Sayangnya…
Menjelang 100 hari di lantik, pasangan yang tidak pernah terpisah ini, belum menunjukkan hal yang membuat kita harus berdecak kagum dan mengangkat topi atas berbagai prestasinya.
Jika Yusran di Konawe sudah terlihat memugar kembali berbagai aset daerah, Siska di Kendari sudah merubah beberapa kebijakan dan memberikan perhatian serius di bidang kesehatan, dan Rifky di Konkep tidak berhenti bergerilya door to door mendukung sektor riil UMKM, justru yang disuguhkan pemimpin Butur terpilih di beranda media sosial para tim suksesnya kebanyakan adalah acara seremonial pengalungan bunga, duduk di kursi VIP, keluar masuk pesta dan menghadiri acara makan-makan. Rantai aktivitas pasangan Bupati dan Wakil Bupati ini kebanyakan hanya berisi momen foto bersama, padahal euphoria pesta demokrasi sudah lama usai dan rakyat menunggu sebuah pembuktian atas semua janji yang diucapkan dibawah kitab suci.
Belum terlihat kecermatan dalam menata daerah, mengkaji konfigurasi politik, menekan stabilitas ekonomi dengan akses membuka sumbatan partisipasi masyarakat.
Berbagai hal blunder justru banyak dipertontonkan orang-orang disekitar kekuasaan.
Gaduh saling tikung jabatan, karaoke dan joged-joged Ibu PKK dengan pakaian kebesarannya, hingga kehidupan pribadi pemimpin terpilih yang sangat gampang di akses dan menjadi buah bibir di tengah masyarakat.
Sungguh, hal ini bagi saya sangat menurunkan wibawa seorang pemimpin. Sebagai pengacara kawakan Sulawesi Tenggara yang terbiasa menghadapi berbagai macam karakter orang, ketegasan seorang Afirudin sangat dipertanyakan.
Saya menduga Afiruddin-Rahman terlalu membuka akses yang lebar terhadap orang-orang disekelilingnya, sehingga peta kekuasaan dengan gampang terumbar dan terekspose ke publik.
Jangan sampai masyarakat berpikir bahwa para pemimpin ini terkesan asik menikmati kegaduhan para fanatikusnya. Jika demikian, maka Iklim perpolitikan di Buton Utara, tengah meluncur menuju derajat yang serendah-rendahnya.
Sekali lagi, Afiruddin-Rahman saat ini sedang menghadapi gelombang masyarakat yang bosan. Bosan dengan tontonan para pejabat yang sibuk dengan berbagai kegiatan yang menghabis-habiskan anggaran tapi tidak berefek pada hajat hidup orang banyak.
Lepas dari semua kritikan yang saya uraikan di atas, alangkah tidak etisnya jika saya terus menerus menyalahkan Afirudin-Rahman. Sungguh tidak relevan mengkambinghitamkan mereka atas semua kekecewaan masyarakat terhadap dendam politik di masa yang lampau.
Bagaimanapun, ada beberapa hal yang harus kita apresiasi selama kurang lebih dua bulan mereka memimpin Buton Utara. Salah satunya adalah, untuk pertama kalinya masyarakat Buton Utara dipimpin oleh Bupati dan Wakil Bupati yang akun media sosialnya aktif mengabarkan kegiatannya kepada masyarakat luas. Dari sini kita sudah melihat niat tulus mereka yang ingin dekat dengan masyarakat dan mempersempit jarak antara pemimpin dan orang yang dipimpinnya.
Afiruddin-Rahman juga dikabarkan beberapa kali menolak dengan tegas suap dan gratifikasi dalam lelang jabatan. Jika ini konsisten, maka Ini adalah kabar gembira untuk masyarakat Buton Utara.
Terakhir, untuk siapapun masyarakat Buton Utara yang membaca tulisan saya ini, kekuasaan politik memang ada ditangan rakyat. Namun demikian, cara rakyat mengekspresikan kekuasaan tetap harus diatur. Jangan jadi masyarakat toxic yang hanya tahu menghujat dan menyalahkan pemimpin. Berikan mereka solusi dan apresiasi jika memang mereka membuat prestasi. Ingatlah, wajah pemimpin adalah cerminan wajah masyarakatnya.
Semangat !!!
Penulisi : Rizkia Milida
(Pendiri KOPI BUTUR)