Penulis : Dodi Santoso, Akademisi Fisip UHO
Barisan.id, – Hari pertama kerja pasca libur panjang Lebaran sering kali menjadi momen simbolik yang dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk menunjukkan komitmen terhadap disiplin terhadap kepatuhan. Tidak sedikit dari mereka yang tampil dalam apel gabungan dengan gaya komunikasi yang keras, retorika tegas, bahkan ancaman pemecatan kepada aparatur sipil negara (ASN) yang dinilai lalai atau tidak hadir.
Para kepala daerah hasil pemilihan serentak kemarin semuanya berlomba-lomba menjadi “ media darling ”, menjadi gagah Ketika marah dan ngamuk di kamera depan, mereka seakan puas Ketika para pegawai (ASN) yang dimarahinya tertunduk lesu dan malu. Namun, di balik simbolisme ini, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: apakah gaya kepemimpinan yang terkesan “galak” ini benar-benar efektif, atau justru menimbulkan ketakutan yang tidak konstruktif? Dan yang lebih penting lagi, apakah tindakan yang diambil (seperti pemecatan ASN atau pencopotan jabatan) sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik?
Tegas Bukan Berarti Otorita
Gaya kepemimpinan yang tegas memang dibutuhkan dalam birokrasi. ASN sebagai pelayan publik dituntut untuk disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas. Namun, tegasnya berbeda dengan otoriter. Ketegasan harusnya hadir dalam kerangka aturan hukum yang jelas, bukan dalam bentuk intimidasi di muka umum yang berpotensi menurunkan martabat pegawai.
Beberapa kepala daerah, dalam pidato apel hari pertama kemarin, menyampaikan ancaman pemecatan kepada ASN yang tidak hadir tanpa keterangan. Namun perlu diingat bahwa proses pemberhentian ASN atau pencopotan jabatan tidak bisa dilakukan secara serta-merta. Ada regulasi dan prosedur yang wajib ditaati.
Aturan Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)
Pemecatan dan pencopotan ASN diatur dengan ketat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 87 menyebutkan bahwa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat memiliki dasar yang spesifik, termasuk pelanggaran disiplin berat. Namun, semua itu tidak bisa dilakukan tanpa proses pemeriksaan dan pembuktian. PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa pelanggaran disiplin diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat, dengan konsekuensi yang berbeda. Setiap pelanggaran wajib ditangani melalui pemeriksaan oleh atasan langsung atau tim yang ditunjuk, dan hasilnya dituangkan dalam berita acara. PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK
Untuk pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), mekanisme pemutusan hubungan kerja juga memiliki prosedur tersendiri dan tidak bisa serta-merta dilakukan hanya karena absen pada suatu hari.
Artinya, setiap tindakan penghentian dan atau pencopotan ASN harus melalui tahapan administratif, investigasi, dan pertimbangan yang adil. Proses ini bukan hanya menjaga hak ASN, namun juga mencerminkan bahwa pemerintah daerah bekerja berdasarkan hukum, bukan atas dasar emosi atau pertunjukan kekuasaan.
Realita Lapangan yang Tak Kunjung Tertangani
Ironisnya, meski ASN ditekan untuk disiplin secara ketat, banyak pelayanan publik di lapangan justru belum tertangani secara optimal. Masalah infrastruktur, pengelolaan sampah, banjir, birokrasi yang lambat, dan layanan kesehatan masih menjadi keluhan utama masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan birokrasi bukan semata-mata soal absensi ASN, tetapi lebih kompleks, termasuk manajemen kelembagaan dan kepemimpinan yang strategis.
Sikap kepala daerah yang hanya menonjolkan ketidakhadiran ASN di hari pertama kerja, tanpa menyentuh permasalahan sistemik lainnya, menunjukkan pemahaman yang sempit terhadap reformasi birokrasi.
Kepemimpinan yang Mendidik, Bukan Menghardik
ASN memang harus disiplin. Namun kepala daerah juga perlu menjadi teladan, bukan hanya dalam kehadiran fisik, tetapi juga dalam keteguhan moral dan kepatuhan terhadap hukum. Kepemimpinan yang baik tidak ditandai dengan suara lantang dalam apel, namun oleh konsistensi menjalankan sistem, menghargai proses hukum, dan memperbaiki kinerja manajemen secara menyeluruh. Kita membutuhkan kepala daerah yang membangun ASN dengan pendekatan edukatif, progresif, dan berorientasi pada hasil bukan sekedar membentak di depan mikrofon.
Yang terakhir , memang kepala daerah mempunyai kewenangan untuk mencopot, memutasi dan lainnya, tapi ingat jabatan politik itu ada waktunya, namun sakit hati dipermalukan di depan umum itu menjadi kenangan kekal, terutama para kepala daerah baru dan masih muda yang relatif belum memiliki sikap matang dan dewasa. Suatu saat Anda tidak terpilih, niscaya mereka yang mengelu-elukan pasti pindah haluan, hal tersebut merupakan hukum alam, sunatullah , karena jabatan itu dipergilirkan.