Barisan.id, Gorontalo – Di Pohuwato, deru ratusan ekskavator yang bekerja siang dan malam tidak lagi sekadar tanda adanya aktivitas tambang rakyat. Ia adalah simbol negeri yang kalah oleh mafia.
Suara mesin bercampur dengan bau transaksi gelap. Dibalik deru mesin berbau transaksi gelap tersebut, nama-nama seperti Joker Grup, YR Team, Nurkadji, dll, muncul laksana pejuang tangguh bagi Pengusaha Tambang Ilegal. Dibalik mereka, mencuat pula sosok yang diduga merupakan Oknum Perwira Polisi yang dikenal dengan sebutan Ko Haji, yang diduga kuat menjadi perantara antara para Pengepul Hasil Tambang Ilegal. Mereka bukan hanya pelaku, tetapi simpul dari sebuah jejaring yang membuat hukum kehilangan Taji dan wibawanya.
Data lapangan menunjukkan sekitar 500 alat berat beroperasi di area tambang ilegal di Dengilo, Buntulia, Bulangita, Boalayo dan Popayato. Dengan tarif setoran Rp 30 juta hingga Rp 50 juta per alat per bulan, kita bisa menghitung skala ekonomi gelap yang berputar.
Mari hitung secara kasar:
- 500 ekskavator x Rp 30 juta/bulan = Rp 15 miliar per bulan
- 500 ekskavator x Rp 50 juta/bulan = Rp 25 miliar per bulan
Artinya, dalam setahun, mafia tambang di Pohuwato mengalirkan dana gelap sebesar Rp 180 miliar hingga Rp 300 miliar per tahun
Ini bukan pungutan liar biasa. Ini retribusi kriminal dengan pendapatan setara APBD sebuah kabupaten kecil yang mengalir tanpa pajak, tanpa pengawasan, dan tanpa pernah benar-benar menyentuh kas negara.
Di tengah lingkaran itu berdirilah YR seorang figur yang diduga menjadi penghubung utama. Ia diduga mengelola pungutan bulanan, mengatur daftar pemilik alat, serta mengendalikan distribusi uang kepada oknum-oknum yang seharusnya menegakkan hukum.
Nama YR bukan muncul sekali dua kali. Di banyak pengakuan warga penambang YR adalah gerbang masuk wajib. Siapa pun membawa ekskavator masuk ke lahan Pohuwato harus “melapor” dan membayar.
Lalu muncul kelompok Joker, jaringan lain yang disebut mengambil alih sebagian wilayah kerja Yosar.
Kelompok Joker dan YR ini diduga setiap bulannya melakukan transaksi rutin di hotel mewah di Kota Gorontalo, tempat uang perlindungan disetorkan dalam amplop-amplop besar. Tidak ada tanda terima, tidak ada dokumen hanya keyakinan bahwa membayar berarti aman.
Di atas dua nama itu, seorang oknum perwira polisi disebut-sebut terlibat yakni AKP Ko Haji. Rumornya begitu kuat hingga menjadi pengetahuan publik, kelompok YR dan Joker tidak akan seberani ini tanpa “punggung” kekuasaan yang melindungi.
Pola di lapangan pun memperkuat dugaan bahwa penambang yang membayar tidak tersentuh razia, sementara yang menolak membayar langsung ditangkap. Hukum menjadi produk yang bisa dinegosiasikan.
Sementara itu, kerusakan ekologis menjadi pajak diam-diam yang harus dibayar rakyat. Rakyat menanggung kerugian, sementara ratusan miliar mengalir ke tangan mafia dan oknum aparat.
Lebih jauh, struktur mafia ini merembes hingga akar rumput. Seperti kades yang berinisial IM di duga memiliki peran di wilayah Dengilo, menunjukkan bahwa konsorsium ini bukan kumpulan preman tambang biasa. Ini organisasi yang tertata. Ada koordinator, ada operator, ada pengumpul uang, ada pelindung hukum, dan ada penguasa lokal yang ikut bermain.
Di mana negara?
Negara hadir seolah hanya sebagai papan nama. Operasi penghentian tambang datang ketika setoran telat. Razia berhenti ketika transaksi lancar. Plang peringatan berdiri di pinggir jalan, tetapi ekskavator tetap bekerja beberapa meter dari sana.
Jika aliran uang ilegal sebesar Rp 180–300 miliar per tahun dibiarkan berputar tanpa satu pun aktor besar tersentuh hukum, maka publik berhak menyimpulkan bahwa negara bukan tidak mampu tetapi tidak mau.
Ketika aparat diduga menjadi bagian dari struktur kejahatan, maka hancurlah garis pembatas antara pelindung dan pelaku. Pohuwato pun menjadi cermin retak dari sebuah republik yang sedang goyah, sebuah negara yang membiarkan hukum diperjualbelikan di hotel-hotel dan gubuk tambang.
Jika negara sungguh ingin kembali dihormati, maka langkah pertama harus jelas yaitu
usut YR, kelompok Joker, dan oknum aparat yang diduga menggerakkan mereka.
Selama yang disentuh hanya pekerja tambang berkaus lusuh, sementara para pengumpul ratusan miliar diselamatkan oleh seragam dan jabatan, maka tambang ilegal bukan hanya persoalan lingkungan. Ia adalah pengkhianatan terhadap negara hukum itu sendiri.













