Penulis: Indra Rohandi Parinding, S.Farm
Barisan.id, – Istilah koprol dalam konteks birokrasi dan politik dapat dimaknai sebagai praktik yang menggambarkan hubungan erat antara jabatan karier dan kekuasaan politik.
Fenomena ini sering kali menunjukkan bahwa birokrat cenderung menggunakan cara-cara politik untuk mempertahankan dan meningkatkan karirnya. Sementara itu, penguasa kerap kali menawarkan jabatan tertentu demi kepentingan politiknya.
Praktik ini melahirkan nepotisme, yang pada hakikatnya merupakan bentuk simbiosis mutualisme antara kepentingan politik dan birokrasi. Dalam bahasa gaul yang lebih populer, praktik ini mencerminkan kolusi dan nepotisme. Padahal, di tengah harapan besar untuk mereformasi birokrasi dan menciptakan iklim politik yang lebih sehat demi kemajuan daerah (“kase bae nih daerah”), fenomena koprol justru menjadi momok yang menghambat prinsip egalitarianisme dalam pemerintahan serta nilai-nilai demokrasi substantif.
Dalam praktiknya, koprol bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berlangsung lama dengan tujuan mempertahankan kekuasaan, menjaga gengsi jabatan, serta menutupi kesalahan dan ketakutan seorang pemimpin.
Jika istilah koprol ini diterima sebagai terminologi dalam praktik birokrasi dan politik, maka dampaknya adalah persepsi negatif terhadap sistem tersebut. Jabatan bisa diperoleh hanya dengan “cari muka,” sementara kesalahan yang seharusnya dikoreksi justru ditutupi demi kelangsungan karier dan kepentingan politik.
Praktik ini mungkin tidak dipermasalahkan jika hasil yang dicapai sejalan dengan kualitas kinerja dan kapabilitas individu. Namun, masalah muncul ketika praktik koprol justru melahirkan kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan, regulasi, serta prinsip birokrasi yang ideal.
Menariknya, istilah koprol kini semakin sering dikaitkan dengan dinamika birokrasi dan politik. Tidak jelas siapa yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, tetapi koprol tampaknya telah menjadi bahasa simbolik yang menyamarkan kenyataan sebenarnya. Istilah ini mencerminkan ketakutan akan hilangnya jabatan dan kekuasaan, sehingga menjadi strategi para pemimpin untuk tetap bertahan dalam sistem.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), koprol berarti gerakan berguling ke depan. Dalam dunia birokrasi dan politik, istilah ini tampaknya telah menjadi legenda bagi para pejabat, terutama menjelang kontestasi politik.
Seharusnya, nilai dan tanggung jawab dalam birokrasi serta politik tidak bergantung pada praktik koprol, melainkan pada visi dan misi yang terstruktur serta berorientasi pada kepentingan masyarakat. Jika koprol terus menjadi budaya, maka birokrasi hanya akan menjadi ajang politik transaksional tanpa integritas dan profesionalisme.