Penulis: Tyo Mokoagow
Pukul 11.00 WIB, ia dibawa tim dokter ke ruang penanganan khusus. Tubuhnya meregang kesakitan. Setelah keluarga cemas dan tegang, dokter keluar dari ruangan lalu meminta keluarga membawa compact disc (CD) musik Beethoven. Dengan menggunakan headset, Gus Dur mendengarkan komponis favoritnya dengan khusyuk seperti seorang bertasbih. Setelah azan magrib berkumandang, presiden ke-3 Indonesia itu akhirnya wafat.
Bagi seorang Abdurahman Wahid, kudeta politik yang menimpanya bukanlah tragedi. ia justru merespon peristiwa itu dengan jenaka lewat celana pendek dan kaos putih seperti orang yang lagi santai di rumah. Yang paling membuat Gus Dur sedih dan geram justru kehilangan kaset musik Beethoven yang ia koleksi.
Saya tidak tahu kenapa kehilangan jabatan nomor satu di negeri ini tidak lebih bikin sedih daripada kehilangan sebuah kaset musik klasik. Namun barangkali karena ia percaya pada kata-kata Ludwig van Beethoven yang kesohor itu: “Apa pun yang terjadi tak akan kubiarkan diriku hancur tergoyahkan nasib. Oh, alangkah hebatnya hidup seribu kali lipat dengan satu jiwa.”
Nomor lagu favorit Gus Dur adalah Simfoni Kesembilan atau lebih dikenal dengan “Ode to Joy”. Lagu itu bermula dari pesanan Philarmonic Society of London (PSL) PADA 1817. Beethoven menerima pesanan tersebut lantaran sedang bokek dan punya utang besar kepada kerabatnya. Lagu aslinya berdurasi kolosal, yakni 70 menit dengan empat movement, dari “allegro ma non troppo” sampai “allegro assai”.
Ketika simfoni itu diciptakan, Beethoven tidak mengira karyanya bakal menjadi ode universal yang mengalun bebas di seantero dunia, melampaui sekat-sekat antar warna bendera. Nazi menggunakannya untuk perayaan-perayaan besar; Uni Soviet menjadikan nada itu sebagai lagu komunis; Cina di masa-masa Revolusi Kebudayaan Mao juga memainkannya—meski saat itu mereka sangat anti terhadap peradaban barat; Rhodesia Selatan sebelum menjadi Zimbabwe melantunkannya; Abimael Guzman, presiden Gonzalo, seorang gerilyawan kiri ekstrem mengaku pada wartawan bahwa Ode to Joy merupakan lagu kegemarannya; tatkala Jerman dibatas tembok Berlin, Ode to Joy disepakati sebagai national anthem dalam Olympic; Uni Eropa pun memakainya sebagai lagu kebangsaan.
Žižek dalam “Perverted Guide to Ideology” menunjukkan ketakjubannya atas universalitas Ode to Joy lantas menyebutnya sebagai “ode untuk kemanusiaan, untuk persahabatan, dan kemerdekaan”. Lagu itu mengandung sihir tersendiri, ia bersifat adaptif, dan sulit ditolak kedatangannya. Tidak berlebihan menyebut Ode to Joy sebagai bahasa universal. Para penggemarnya sendiri menjuluki lagu itu sebagai “inhuman voice”.
Ode to Joy tidak akan pernah lekang dari zaman. Gelombang nada itu merambat lembut lewat kawat-kawat kecil dalam penyuara telinga, hingga sampai ke reseptor pendengaran Gus Dur. Gus Dur menyukai simfoni itu sebagaimana simfoni itu menyukai Gus Dur. Sifat mereka berdua begitu mirip: sama-sama suka melelehkan batas demarkasi yang memisahkan “kami” dengan “mereka”. Bahwa kita memang boleh dipisahkan oleh iman, bangsa, ras, bahasa, ideologi, tetapi kita semua saudara dalam kemanusiaan.