banner Kulbar
BeritaOpini

Ujaran Kebencian pada Pilkada Buton Utara: Bayang-bayang Konflik di Tengah Demokrasi Lokal

×

Ujaran Kebencian pada Pilkada Buton Utara: Bayang-bayang Konflik di Tengah Demokrasi Lokal

Share this article

Penulis: Arlan
Pemuda Seberang

Barisan.id, – Demokrasi sering kali dielu-elukan sebagai sistem terbaik yang dimiliki umat manusia. Namun, di tengah berbagai kemegahannya, demokrasi juga menyimpan sisi gelap yang tak kalah menyilaukan. Di tanah Buton Utara, Pilkada bukan sekadar kontestasi politik. Ia menjadi medan perang wacana, adu narasi, dan tak jarang, saling menyerang dengan ujaran kebencian yang semakin menggerus nilai-nilai dasar demokrasi itu sendiri.

Pilkada adalah panggung politik lokal, tempat warga daerah mengadu harapan kepada pemimpin yang diyakini mampu membawa perubahan. Namun, apa jadinya jika panggung ini justru dipenuhi dengan kebisingan ujaran kebencian? Ketika perbedaan ideologi, hingga loyalitas politik menjadi amunisi untuk menyerang lawan, kita patut bertanya, apa sebenarnya yang sedang kita bangun melalui demokrasi ini?

Ujaran kebencian bukanlah sekadar produk dari persaingan politik. Ia adalah gejala struktural yang mencerminkan ketimpangan kekuasaan dan ketidakadilan dalam masyarakat. Politik lokal sering kali hanya menjadi medium bagi kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka atas rakyat.

Ujaran kebencian seringkali digunakan untuk mempertajam perpecahan kelas, membelokkan perhatian publik, dan melanggengkan status quo.

Demokrasi Lokal di Persimpangan

Buton Utara, seperti banyak daerah lainnya di Indonesia, mengalami perubahan signifikan dalam struktur politiknya sejak desentralisasi digulirkan. Pilkada menjadi simbol dari otonomi daerah, namun di sisi lain, ia juga membuka ruang yang luas bagi kontestasi kekuasaan. Kekuasaan adalah hubungan yang selalu diperebutkan, baik oleh elit maupun rakyat biasa.

Di Buton Utara, kontestasi menjadi semakin rumit karena tidak hanya melibatkan elite politik lokal, tetapi juga pengaruh besar dari partai-partai nasional. Hasilnya adalah demokrasi yang kerap kali terjebak dalam logika oligarki. Pilkada tidak lagi menjadi arena untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Ujaran kebencian muncul sebagai manifestasi dari konflik ini. Dalam situasi di mana politik uang, nepotisme, dan korupsi telah menjadi praktik lazim, cara paling efektif untuk merebut suara bukan lagi dengan menawarkan visi dan program. Sebaliknya, polarisasi menjadi strategi ampuh.

Rakyat dibiarkan terpecah-belah dalam kubu-kubu yang saling bermusuhan, sementara elite politik terus melanggengkan kekuasaannya tanpa benar-benar mempertanggungjawabkan janji-janji mereka.

Polarisasi dan Kapitalisme Politik

Di balik ujaran kebencian yang mengemuka dalam Pilkada, terdapat mesin besar yang bekerja, kapitalisme politik. Para kandidat tidak hanya berlomba merebut hati rakyat, tetapi juga dukungan dari berbagai kelompok kepentingan.

Media sosial menjadi salah satu alat utama dalam kampanye, tetapi alih-alih menjadi ruang untuk dialog yang sehat, ia berubah menjadi ladang pertarungan narasi.

Di sinilah kita melihat bagaimana algoritma media sosial memperburuk polarisasi. Konten yang penuh emosi, terutama yang bermuatan kebencian, cenderung mendapatkan perhatian lebih besar. Dalam logika kapitalisme, perhatian adalah mata uang yang paling berharga. Semakin kontroversial sebuah isu, semakin besar peluangnya untuk mendapatkan sorotan. Akibatnya, ujaran kebencian tidak hanya menjadi senjata politik, tetapi juga komoditas yang dijual dan dibeli untuk kepentingan elektoral.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana sistem kapitalis beroperasi, dengan cara mengeksploitasi perbedaan dan memperdagangkan konflik. Ujaran kebencian bukan hanya menciptakan kerusakan sosial, tetapi juga memperkuat struktur ketimpangan yang ada.

Dalam konteks Pilkada Buton Utara, hal ini berarti memperdalam jurang antara rakyat biasa yang terpecah belah dan elite politik yang terus menguasai sumber daya.

Implikasi Sosial dan Kultural

Dampak ujaran kebencian tidak berhenti pada persoalan politik semata. Ia merembes ke dalam kehidupan sosial, memengaruhi cara orang berinteraksi, dan bahkan merusak tatanan budaya lokal. Di Buton Utara, masyarakat hidup dalam keberagaman yang rapuh. Perbedaan suku, agama, dan budaya seharusnya menjadi kekuatan, tetapi justru sering digunakan sebagai alat untuk memecah belah.

Dalam hegemoni budaya Gramsci, budaya bukan hanya alat dominasi, tetapi juga ruang resistensi. Ujaran kebencian dalam konteks Pilkada mencerminkan bagaimana budaya lokal dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk membenarkan tindakan diskriminatif. Di sisi lain, resistensi terhadap ujaran kebencian ini juga muncul dari inisiatif-inisiatif masyarakat akar rumput. Kelompok-kelompok adat, pemuda, dan komunitas lokal sering kali menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan nilai-nilai kebersamaan.

Namun, resistensi ini tidak akan cukup tanpa perubahan struktural. Demokrasi lokal perlu dirancang ulang agar mampu memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi rakyat, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan politik. Tanpa itu, ujaran kebencian akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses politik kita.

Harapan Baru untuk Demokrasi Lokal

Apa yang bisa kita lakukan untuk melawan arus ujaran kebencian ini? Pertama, kita harus menyadari bahwa persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi atau penegakan hukum. Ujaran kebencian adalah gejala dari masalah yang lebih besar, yaitu ketimpangan kekuasaan dan kurangnya kontrol rakyat terhadap proses politik.

Menggunakan pendekatan marxisme, solusi terbaik adalah dengan membangun solidaritas rakyat. Masyarakat Buton Utara harus bergerak melampaui identitas politik yang sempit dan mulai melihat bahwa mereka memiliki kepentingan yang sama, memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, akses yang lebih adil terhadap sumber daya, dan pemerintahan yang benar-benar mewakili suara mereka.

Kedua, pendidikan politik harus menjadi prioritas. Selama rakyat tidak memahami bagaimana kekuasaan bekerja, mereka akan terus menjadi korban dari manipulasi elite politik. Pendidikan politik bukan hanya tentang mengenal hak dan kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga tentang membangun kesadaran kritis terhadap struktur sosial dan ekonomi yang memengaruhi kehidupan mereka.

Ketiga, kita perlu membangun media alternatif yang mampu melawan dominasi narasi kebencian. Di era digital, siapa saja bisa menjadi pembawa pesan, tetapi untuk melawan ujaran kebencian, kita membutuhkan media yang tidak hanya mengedepankan fakta, tetapi juga menawarkan ruang dialog yang inklusif.

Mimpi yang Masih Mungkin

Pilkada di Buton Utara adalah cerminan dari wajah demokrasi kita hari ini. Ia penuh dengan dinamika, tetapi juga dipenuhi dengan tantangan. Ujaran kebencian adalah salah satu tantangan terbesar, karena ia tidak hanya merusak proses politik, tetapi juga memecah belah masyarakat.

Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan. Demokrasi adalah proses yang selalu berubah, dan masa depan demokrasi lokal kita tergantung pada sejauh mana kita mampu melawan segala bentuk manipulasi dan ketidakadilan.

Dalam kata-kata Antonio Gramsci, seorang bapak hegemoni budaya, kita harus memadukan “pesimisme intelektual” dengan “optimisme kehendak.” Artinya, meskipun kita menyadari betapa berat tantangan yang kita hadapi, kita harus tetap percaya bahwa perubahan itu mungkin.

Buton Utara memiliki potensi besar untuk menjadi model demokrasi lokal yang inklusif dan berkeadilan. Namun, untuk mencapainya, kita harus berani melawan arus, melampaui sekat-sekat perbedaan, dan berdiri bersama sebagai masyarakat yang benar-benar merdeka. Hanya dengan begitu, kita bisa mengubah demokrasi dari sekadar prosedur menjadi alat pembebasan.

Dan di atas segalanya, demokrasi bukanlah tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Demokrasi adalah tentang bagaimana kita bersama-sama membangun rumah bersama, di mana setiap suara didengar dan setiap harapan dihargai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *