Penulis : Rizkia Milida
(Pendiri KOPI BUTUR)
“Kekuasaan itu di pergilirkan”
Inilah kalimat dalam surat Ali Imron ayat 140, yang acap kali kita lupakan di setiap momentum pemilihan Kepala Daerah. Mayoritas kita berpikir, seolah-olah hasil kemenangan seseorang itu hanya semata-mata buah kerja Tim Sukses tanpa ada campur tangan Allah Yang Maha Kuasa.
Padahal jika Allah berkehendak, sangat mudah bagiNya untuk mencabut kekuasaan seseorang. Seberapa kuatpun kekuasaan itu dipertahankan.
Tulisan ini tersaji untuk mereka yang merasa menang dengan begitu jumawa, dan merasa kalah dengan membawa dendam dan sakit hati.
Bagi saya, tampuk kekuasaan Buton Utara selanjutnya harusnya adalah milik seorang Rukman Basri. Segala aspek kemenangan dalam pertarungan Pilkada melekat padanya.
Diantaranya adalah basis massa yang kuat karena didukung dua trah keluarga yang solid, support dari birokrasi yang memadai karena ada backingan Paman Bupati dibelakangnya serta dukungan dari pemilik enam kursi DPRD PAN sebagai partai pemenang di Buton Utara.
Sosok Rukman Basri juga adalah seorang Politisi senior dengan sejuta pengalaman dan jam terbang yang sudah teruji. Beground keluarganya adalah pengusaha turun temurun di Buton Utara. Tentu stimulus keuangan juga sudah matang dan memadai.
Tapi demikianlah politik, Ia seperti arah bergeraknya mata angin, kadang ke barat, kadang ke timur, kadang ke selatan, kadang pula ke utara. Dinamika politik itu sekencang pacuan kuda. Ada yang menang, ada yang jatuh, ada yang dijatuhkan.
Serumit catur, ada serangan pion padahal yang berkonspirasi adalah sang raja. Ada bunuh diri sang Menteri, padahal tujuannya membuat lawan skak mati.
Pada akhirnya, bahkan dengan hasil survey yang dipublikasi sedemikian rupapun tetap saja tidak bisa membendung kemenangan spektakuler Afiruddin-Rahman (AMAN).
Riak kekalahan itu memang sudah mulai terasa manakala Sekda yang juga merupakan kerabat Rukman ini, lebih memilih balik kanan mendukung AMAN setelah tidak mendapatkan pintu partai. Ditambah kisruh perebutan tahta ketua DPRD, berpindah dukungannya sejumlah Kadis potensial, gerakan-gerakan bawah tanah para ASN, serta aksi buang handuk kandidat lain di detik-detik terakhir pencoblosan, yang menjadikan pertarungan menjadi blunder, kabur dan sulit diprediksi dengan angka tentang siapa yang akan tampil sebagai pemenang di Pilkada Buton Utara.
Nama Afirudin sebenarnya sudah masuk bursa calon Bupati saat periode kemarin. Ia berharap bisa membawa tagline “Wajah Baru Semangat Baru”.
Sayangnya, Afirudin sudah terlebih dahulu di cegat Aswadi yang sejak awal kemunculannya sudah menggemparkan Buton Utara dengan mendatangkan sejumlah artis ternama Ibu Kota. Nama Afirudin, seketika hilang dari pusaran.
Bagi saya, Afirudin adalah orang yang pintar. Pintar melihat peluang. Ia tahu persis hal pertama yang harus ia lakukan ketika terjun berkompetisi di Pilkada Buton Utara adalah merebut kursi Ketua Gerindra Butur. Partai pemenang Pilpres yang juga tegak lurus dengan Calon Gubernur terkaya di Sulawesi Tenggara, ASR.
Ia juga pintar memilih wakil yang tepat. Wakil yang lebih penurut, tidak ambisius dan lebih kecil dosa politiknya dibanding kandidat calon wakil lainnya. Ia paham, untuk membangun sebuah daerah yang maju, maka ia harus bisa bersinergi dengan baik dengan wakilnya kelak.
Momen kemenangan AMAN ini sebenarnya adalah pemberontakan paling dramatis dan otentik dalam sejarah berdirinya Buton Utara. Mengapa?
Pergerakan AMAN mampu mematahkan mitologi politik bahwa gerakan orang seberang merupakan gerakan yang selalu terpinggirkan. Dimana posisi orang Kulisusu Induk selalu tampil sebagai kandidat strategis, dan orang seberang hanya mampu berdiri sebagai kandidat taktis.
Tapi AMAN dengan fasih menantang
Kemenangan AMAN telah memelopori perubahan sosial dan politik di Buton Utara dengan menerobos status quo pemerintahan dinasti politik.
Tidak bisa kita pungkiri, dinasti politik adalah sebuah fenomena yang begitu menekan dan membatasi ruang gerak masyarakat luas. Pola pemerintahan menjadi terpusat dan terkungkung hanya pada golong-golongan tertentu.
Hal ini terjadi cukup lama sehingga menimbulkan kebosanan dan kekecewaan yang mendalam. Berbagai kasus yang muncul akibat pinjaman dana PEN serta infrastruktur jalanan yang rusak terus menerus, makin memperparah tingkat ketidakpercayaan masyarakat pada pemimpin yang sedang menjabat saat ini.
AMAN sebenarnya diuntungkan dengan Bom waktu ini. Andai kemarin Ridwan Zakaria memimpin Butur dengan teliti, maka AMAN tidak akan menang spektakuler hingga menyentuh angka diatas 50% kemenangan.
Maka tidak berlebihan jika tulisan ini saya berikan tema “Mendadak Bupati…”
Karena kemenangan ini adalah anugerah, maka tidak ada jalan lain bagi Afiruddin-Rahman selain membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka berdua layak memimpin Buton Utara.
AMAN harus memunculkan wacana heroik, merekonstruksi gagasan baru terhadap wajah butur yang baru serta meredam dimensi-dimensi konflik yang selalu muncul antar tim sukses ketika berebut jatah jabatan.
AMAN harus sadar, bahwa ia di dukung oleh mayoritas kalangan menengah ke bawah yang memiliki semangat yang luar biasa, namun rentan dengan mental kecewa.
Afirudin – Rahman harus belajar dari pengalaman masa lalu, bahwa begitu banyak tokoh kharismatik yang awal kemunculannya dielu-elukan namun akhirnya runtuh oleh sistem yang dibangunnya sendiri, juga lumpuh karena kekuasaan absolutnya sebagai pemimpin yang tidak mampu mengakumulasi semua elemen kekuasaan.
Terakhir, saya atas nama seluruh pengurus Komunitas Pemuda Peduli Buton Utara mengucapkan selamat mengemban amanah baru. Kami dan seluruh masyarakat Buton Utara menanti kabar baik tentang Butur yang lebih maju dan bermartabat. Jika tidak,
Maka kami siap berdiri paling depan sebagai oposisi.