banner Kulbar
BeritaOpini

Energi Kotor dan Pilkada Gorontalo: Masa Depan yang Harus Kita Selamatkan

×

Energi Kotor dan Pilkada Gorontalo: Masa Depan yang Harus Kita Selamatkan

Share this article
Sekertaris Umum HMI Cabang Gorontalo, Amirullah
Sekertaris Umum HMI Cabang Gorontalo, Amirullah

Penulis : Amirullah
Sekertaris Umum HMI Cabang Gorontalo

Barisan.id, – Di sebuah ruang yang seharusnya merayakan demokrasi, Pilkada di Gorontalo kembali mengetuk hati nurani kita. Sebuah panggung kecil, tempat orang-orang biasa berhak menentukan pemimpin mereka, kini menjadi medan pertaruhan. Di sana, janji-janji dikumandangkan seperti nyanyian malam, tapi tidak semua janji lahir dari hati yang bersih. Ada yang datang dengan senyum dan pidato penuh cita-cita, tapi tangannya kotor oleh bisnis yang merusak bumi.

Gorontalo, negeri dengan bentang alam yang memanjakan mata. Negeri ini sudah diberkahi tanah yang subur, laut biru, dan udara segar yang berhembus dari pegunungan. Tapi dalam keheningan itu, deru mesin berat terdengar. Ekskavator menggali bumi, mengangkut tanah yang dulu menyimpan kehidupan bagi masyarakat kini menjadi komoditas yang diperdagangkan. Di tempat lain, pohon-pohon tumbang, diproses menjadi wood pellet, bahan bakar bagi industri yang mengaku hijau tapi sering menyisakan jejak hitam di ekologi lokal.

Dalam Pilkada ini, kita harus bertanya, apa yang sesungguhnya kita pilih? Apakah seorang pemimpin yang akan menjaga negeri ini, atau seorang penguasa yang menjadikan Gorontalo ladang bisnis? Mereka yang terlibat dalam tambang emas, atau bisnis kayu bakar mungkin berkilah bahwa mereka sedang membawa kemajuan. Mereka berkata, “Ini untuk pembangunan,” atau “Ini demi menciptakan lapangan kerja.” Tapi narasi ini sering kali adalah kedok dari kerakusan yang tidak peduli pada kerusakan yang mereka tinggalkan.

Sejarah sering mengingatkan kita, tapi kita terlalu sering melupakannya. Ingatkah kita pada petaka ekologis di banyak daerah tambang? Sungai yang dulu bening berubah menjadi coklat keruh, penuh limbah kimia. Hutan yang dulu lebat kini gundul, menyisakan tanah yang tak lagi subur. Dari Kalimantan hingga Sulawesi, dari Papua hingga Sumatra, jejak kehancuran itu tak pernah benar-benar hilang. Gorontalo tidak boleh menjadi salah satu bab dalam cerita suram ini.

Pertaruhan Besar: Energi Kotor dan Politik Lokal

Di Gorontalo, tambang dan wood pellet telah menjadi isu yang menggeliat dalam beberapa tahun terakhir. Bagi sebagian orang, ini adalah peluang ekonomi. Bagi yang lain, ini adalah bencana yang tengah berjalan. Bayangkan, hutan-hutan kita, yang menjadi paru-paru dunia, ditebang untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Kayu-kayu itu diolah menjadi pelet untuk energi di negara-negara maju. Sementara mereka menikmati listrik dari energi biomassa yang tampak “bersih”, kita di sini harus menanggung limbah dan kerusakan ekologi.

Mereka yang terlibat dalam bisnis ini sering kali berbicara tentang pertumbuhan ekonomi. Mereka menjanjikan lapangan kerja, infrastruktur, dan pemasukan daerah. Tetapi pertanyaannya, untuk siapa? Apakah pendapatan itu benar-benar dinikmati oleh rakyat kecil? Atau justru hanya mengalir ke kantong segelintir elit?

Tambang dan wood pellet adalah bentuk lain dari penjajahan, meski kali ini pelakunya adalah kita sendiri. Kita menjarah hutan kita, merusak tanah kita, dan membiarkan masyarakat kehilangan ruang hidup mereka. Semua ini demi keuntungan yang tidak pernah benar-benar kita rasakan. Lalu, apakah kita masih mau mempercayakan masa depan kita pada pemimpin yang terus mengamini kerusakan lingkungan.

Wood pellet merupakan bahan bakar alternatif yang terbuat dari limbah kayu yang dipadatkan menjadi bentuk silinder. Wood pellet disebut-sebut sebagai salah satu bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan. Gorontalo menjadi salah satu penghasilnya, mencoba menawarkan alternatif energi yang lebih ramah lingkungan ini untuk ke negara-negara seperti Korea dan Jepang.

Produk wood pellet ini laris di pasar global, terutama di negara-negara maju yang sedang beralih ke energi ramah lingkungan. Di atas kertas, ide ini menjanjikan, mengurangi emisi karbon, menggantikan batubara, sekaligus memberikan nilai tambah pada sumber daya alam lokal.

Namun Faktanya, wood pellet membutuhkan bahan baku utama, kayu. Kayu diambil dari pohon atau hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia, tempat flora dan fauna hidup berdampingan, kini diratakan. Proses produksinya pun tak sepenuhnya bebas jejak karbon.

Pemimpin Adalah Penjaga.

Dalam tradisi leluhur kita, seorang pemimpin adalah mereka yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. Pemimpin bukanlah pedagang yang melihat tanah sebagai barang dagangan, bukan pula investor yang mengukur hutan dalam hektare yang bisa dijual.

Ketika seorang kandidat Pilkada terlibat dalam bisnis tambang atau wood pellet, kita harus bertanya, bisakah ia menjadi penjaga? Atau justru ia menjadi penyebab hilangnya harmoni itu?

Tambang adalah luka yang terbuka di tubuh bumi. Di Gorontalo, kita tahu ada potensi tambang yang besar. Tapi apa artinya potensi ini jika hanya menguntungkan segelintir orang? Tambang menjanjikan devisa, tapi ia juga membawa polusi. Ia menggaji beberapa ratus pekerja, tapi ia juga mengusir ribuan orang dari ladang mereka yang subur. Kekayaan dari tambang adalah kekayaan yang rapuh, karena ia berdiri di atas kehancuran yang tidak bisa dipulihkan.

Wood pellet adalah ironi yang lebih menyakitkan. Dalam retorika global tentang energi hijau, wood pellet sering disebut sebagai alternatif ramah lingkungan. Di Gorontalo, hutan-hutan tropis adalah tempat kehidupan bermula, dari burung-burung yang bernyanyi di pagi hari hingga air yang mengalir ke sawah-sawah di bawahnya. Ketika hutan itu hilang, kita tidak hanya kehilangan pohon, kita kehilangan sistem kehidupan yang menopang manusia.

Pemimpin yang baik tahu batas. Ia tahu bahwa pembangunan harus berpijak pada keberlanjutan. Tapi pemimpin yang berbisnis energi kotor sering kali tak punya batas. Ia melihat Gorontalo bukan sebagai tanah air, melainkan sebagai aset. Ia menebang pohon bukan untuk kemakmuran rakyat, melainkan untuk keuntungan pribadi. Ia menggali tambang bukan demi kesejahteraan bersama, tapi demi akumulasi modal.

Kita hidup di era di mana isu lingkungan bukan lagi sesuatu yang bisa diabaikan. Perubahan iklim sudah nyata, dan dampaknya tidak mengenal batas geografis. Gorontalo, dengan seluruh potensi ekologisnya, bisa menjadi contoh bagaimana sebuah daerah membangun tanpa menghancurkan. Tapi ini hanya mungkin jika pemimpinnya punya visi.

Visi itu bukan sekadar program lima tahun. Ia adalah komitmen yang lahir dari pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Pemimpin dengan visi tahu bahwa hutan adalah paru-paru dunia, bahwa tanah adalah ibu yang harus dijaga. Ia tidak akan menggadaikan semua itu untuk proyek jangka pendek yang hanya membawa kerusakan jangka panjang.

Di Pilkada ini, suara kita adalah harapan. Tapi harapan hanya berarti jika kita memilih dengan kesadaran. Kita tidak hanya memilih pemimpin, kita memilih masa depan.

Gorontalo tidak butuh pemimpin yang pandai berjanji tapi sibuk berbisnis tambang. Gorontalo tidak butuh pemimpin yang bicara soal hijau tapi diam-diam menebang hutan. Gorontalo butuh penjaga, seseorang yang bisa berdiri teguh melawan godaan keuntungan singkat demi menyelamatkan generasi mendatang.

Ketika hari pencoblosan tiba, mari kita ingat wajah anak-anak kita. Mereka adalah yang akan mewarisi apa yang kita pilih hari ini. Jika kita memilih pemimpin yang berbisnis energi kotor, kita mewariskan mereka sungai yang mati, tanah yang tandus, dan udara yang penuh debu. Tapi jika kita memilih pemimpin yang punya visi lingkungan, kita mewariskan mereka sesuatu yang jauh lebih berharga, kehidupan.

Mungkin suara kita kecil tenggelam dalam riuh rendah politik dan uang. Tapi suara kecil itu adalah satu-satunya yang kita miliki. Dan di dalam suara kecil itu, ada kekuatan untuk menentukan arah. Pilkada Gorontalo adalah lebih dari sekadar kompetisi politik; ia adalah ujian bagi kesadaran kolektif kita. Mari kita gunakan suara itu dengan bijak. Jangan pilih pemimpin yang berbisnis energi kotor, karena bumi ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *