Oleh : Layosibana Akhirun
(Anggota Komite Independen Pemantau Pemilu Sulawesi Tenggara)
Pasca pengajuan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) wacana tentang penerapan sistem proporsional tertutup mengemuka menjelang penyelenggaraan pemilu tahun 2024. Penerapan sistem politik proporsional tertutup ini akan kembali digunakan apabila judicial review yang teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 itu dikabulkan oleh MK.
Sistem proporsional tertutup dalam pemilu bukanlah sesuatu yang baru bagi Indonesia. Dalam bukunya Muhammad Nizar Kherid Evaluasi Sistem Pemilu di Indonesia 1955-2021 menjelaskan bahwa sistem proporsional tertutup telah dipakai lama sejak Pemilu era Orde Lama hingga Orde Baru. Hal inilah yang membuat sistem politik Indonesia menjadi sistem demokrasi terpimpin yang melahirkan kekuatan oligarki kepartaian di Indonesia.
Dalam prakteknya sistem proporsional tertutup dalam pemilu merupakan sebuah sistem pemilihan umum yang hanya memberikan opsi pilihan partai politik kepada masyarakat secara langsung tetapi tidak kepada calon wakil rakyat yang diusung dalam pemilu. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan satu dari berbagai macam jenis sistem pemilu proporsional.
Berbeda dengan prinsip dari sistem pemilu proporsional terbuka dimana sistem pemilihan proporsional terbuka cenderung memungkinkan masyarakat untuk dapat memilih atau mencoblos secara langsung kandidat wakil rakyat yang tersedia di dalam surat suara. Khoirul Muslimin dalam bukunya Komunikasi Politik menguraikan bahwa pada sistem pemilu proporsional terbuka, daftar kandidat wakil rakyat yang bertarung di pemilu akan disodorkan oleh partai politik dan dimasukan ke dalam surat suara. Dengan demikian, maka kandidat dengan suara terbanyak dari masyarakat akan terpilih sebagai wakil rakyat.
Plus-Minus
Tentu saja penerapan sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup pada pemilihan umum masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam pelaksanaannya. Dalam konteks tertentu kedua sistem pemilu tersebut memberikan manfaat dan mudaratnya masing-masing.
Manfaat utama dari sistem proporsional terbuka yaitu pemilih dapat langsung memilih calon wakil rakyat sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan oleh partai politik. Dengan sistem yang demikian maka secara otomatis akan membangun hubungan yang kuat antara pemilih dengan calon legislatif. Sebaliknya dengan sistem tertutup hubungan antara konstituen dengan calon wakil rakyat memiliki jarak karena posisi partai politik sebagai mesin utama pencari suara secara kumulatif dalam pemilu.
Dalam konteks yang lebih jauh, sistem proporsional tertutup akan melanggengkan sistem oligarki di dalam partai politik. Pada pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional tertutup secara nyata akan membuka peluang besar menguatnya kekuasaan oligarki partai politik. Ironisnya, partai politik secara perlahan akan jauh dari peran dan fungsinya terlebih dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu bahwa sistem proporsional tertutup untuk Pemilu pada era Orde Baru telah berhasil menciptakan hegemoni partai politik besar semisal partai Golkar. Akhirnya, ruang partisipasi dan aspirasi masyarakat pun semakin terbatas.
Alih-alih meminimalisir praktik politik uang dan meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol, sistem proporsional tertutup menutup ruang interaksi kedekatan antara pemilih dan wakil rakyatnya. Sistem proporsional tertutup akan semakin menyuburkan status quo partai penguasa dalam mengatur sistem politik di Indonesia. Pengambilan keputusan berada di tangan elit partai politik.
Dari sudut pandang lain, sistem proporsional tertutup akan memberikan manfaat jika ditinjau dari aspek teknis penyelenggaraan pemilu. Dengan menggunakan sistem proporsional tertutup, mekanisme pemilu lima kotak dalam pemilu tahun 2024 akan menjadi lebih efisien dan efektif. Pemilih atau konstituen tidak perlu melakukan riset yang mendalam tentang pilihan legislatif yang akan dipilih tetapi hanya dengan memilih gambar partai politik pada kertas suara yang telah disediakan oleh penyelenggara pemilu. Sehingga pemilu akan menjadi jauh lebih sederhana dan tidak menyulitkan secara teknis bagi pemilih. Jika pemilihan umum mengedepankan aspek kesederhanaan di dalam prosesnya maka sistem proporsional tertutup adalah sebuah urgensi.
Sebaliknya pada sistem proporsional terbuka, pemilu akan menjadi lebih sulit dan menguras tenaga. Apalagi dilihat dari fakta politik demokrasi di Indonesia, sistem proporsional terbuka selama ini hanya berfokus pada kekuatan figur populis dalam pemilu. Adanya fakta tersebut seringkali akhirnya mengabaikan proses kaderisasi di dalam tubuh partai politik. Figur yang lahir akhirnya tidak memahami dan mengerti seutuhnya tentang pendidikan politik yang baik. Sistem proporsional terbuka memberikan pelemahan posisi yang nyata kepada partai politik di Indonesia.
Jika mutu dan kualitas buruk pada anggota DPR atau wakil rakyat sebagai masalah pokok yang harus diselesaikan maka sistem proporsional tertutup dalam pemilu untuk kembali menguatkan institusi kelembagaan partai harus dilaksanakan. Dengan begitu maka wakil rakyat akan belajar dan menghormati segala proses kaderisasi di dalam partai politik.
Hal yang perlu dipikirkan adalah ketika sistem proporsional tertutup yang kemudian akan digunakan maka hal itu akan berdampak pada perubahan atas banyak pasal di dalam UU Pemilu, UU Pilkada, PKPU, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila hal itu dilaksanakan, hal tersebut tentu saja akan menguras banyak energi pengambil kebijakan untuk kembali mengatur ulang kebijakan kepemilikan di tahun 2024.
Mantap Kanda Ayoshibaki..