Barisan.id, Gorontalo – Presiden BEM Universitas Bina Mandiri (UBM), Altio Prasetyo Lengato meminta para regulator terkait untuk melakukan audit terhadap PT Biomassa Jaya Abadi. Pasalnya perusahaan yang mengekspor wood pellet ke Jepang dan Korea Selatan ini dalam proses pembuatan produk melakukan transhipment di tengah laut.
Berdasarkan hasil analisis spasial Forest Watch Indonesia menunjukan pada 7-9 Juni 2024, kapal tongkang BJA tercatat melakukan transhipment dengan kapal asing dari Panama dengan jarak 2 mil dari daratan Pohuwato. Transhipment itu berada di luar areal persetujuan izin kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) milik BJA.
Analisis spasial FWI ini menunjukkan, kapal yang melakukan transhipment itu membuang jangkar di zona inti–bukan zona pemanfaatan– yang merupakan calon kawasan konservasi perairan daerah Pohuwato. Ironisnya, wilayah itu juga lokasi penangkapan dan perlindungan gurita Masyarakat Suku Bajo Torosiaje.
“Olehnya, bisnis wood pellet ini perlu di audit secara menyeluruh oleh regulator terkait agar informasi tentang proses ekspor biomassa ini bisa terbuka di publik dan kita masyarakat bisa melakukan pengawasan,” kata Altio. Senin (23/9/2024).
Selain itu, Altio juga menyoroti proses proses penebangan hutan yang dilakukan PT BTL dengan perlakuan land clearing. Menurutnya, penebangan pohon dengan perlakuan land clearing dapat menyebabkan terjadinya deforestasi, dan dapat meningkatkan emisi karbon.
“Perlakuan land clearing itu bisa menyebabkan deforestasi dan krisis iklim, meskipun dilakukan penanaman kembali terhadap hutan yang sudah digunduli itu tetapi tetap akan menimbulkan emisi karbon karena serapan hutan alam dan hutan tanaman terhadap emisi karbon sangat berbeda, atau kalau FWI menyebutnya sebagai utang karbon,” ujarnya.
Diketahui bahwa indonesia telah melakukan komitmen dengan dunia internasional untuk menurunkan emisi karbon. Komitmen ini tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menurunkan target emisi dari 29 persen menjadi 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan dari 41 persen menjadi 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
“Seperti negara ini berkomitmen menurunkan emisi karbon, kami juga berkomitmen akan terus mengawal perusahaan bioenergi ini. Kami tidak anti investasi, tetapi kami memikirkan dampak panjang terhadap lingkungan. Ini bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi tapi juga kualitas hidup yang lebih untuk generasi mendatang,” pungkasnya